Author

Faradilla Fadlia


faradilla_fadlia@usk.ac.id
Researcher at the Pusat Riset Ilmu Sosial Budaya (Research Center for Social and Cultural Studies), Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia

Dara Rahmayani


dararahmayani17@gmail.com
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Indonesia

Ismar Ramadani


ismar.ramadani1984@gmail.com
Universitas Al Muslim Aceh, Indonesia

Razia pakaian yang sesuai dengan syariat Islam mungkin hanya ada di Aceh. Pengalaman ini tidak dirasakan oleh perempuan atau laki-laki di provinsi lain di Indonesia. Ini turut saya rasakan ketika melewati Simpang Mesra, Darussalam, Banda Aceh. Saya melihat ada razia pakaian. Pada saat kejadian tersebut saya sedang mengendarai mobil dengan kaca yang cukup transparan. Saya dapat melewati razia tanpa dihentikan oleh Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP/WH) sedangkan para wanita yang mengendarai roda dua langsung dihentikan. Pengalaman tersebut membuat saya bertanya apakah razia pakaian syariah hanya menyasar para pengendara motor dan tidak bagi para pengendara mobil seperti yang saya alami? Apakah peraturan pakaian syariah itu hanya berlaku bagi masyarakat kelas menengah ke bawah dan tidak kelas menengah ke atas? Pengalaman ini mengantarkan saya dan tim pada sebuah penelitian tentang razia pakaian di Aceh pada tahun 2017. 

Aturan mengenai pakaian syariah sendiri telah diatur dalam Qanun No. 11 Tahun 2002 terkait pelaksanaan syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, pada pasal 13 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa setiap orang Islam wajib berbusana muslim dan setiap pimpinan instansi wajib menggunakan pakaian muslim di lingkungannya. Pakaian muslim yang dimaksud adalah pakaian muslim yang menutupi aurat, tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh. Satpol PP/WH menjadi pihak yang memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan dan mengawasi implementasi Qanun tersebut.

Merujuk pada  pasal 23 Qanun tersebut,  Satpol PP/WH juga dapat memberikan sanksi bagi warga yang melanggar peraturan tersebut berupa hukuman ta’zir yaitu peringatan dan pembinaan. Namun di dalam aturan tidak dijelaskan mengenai hukuman bagi pelanggarnya. Oleh karena itu saat terjadi razia, pihak Satpol PP/WH selaku pelaksana hanya melakukan tindakan penertiban aturan pakaian syariah dengan beberapa cara berikut: menghentikan kendaraan pengguna jalan, memberi pembinaan, mencatat identitas, atau memanggil orang tua para pelanggar yang masih muda apabila pelanggar sudah melakukan kesalahan sebanyak tiga kali[1].

Dari hasil wawancara dengan pihak Satpol PP/WH, peneliti mendapatkan temuan yang unik, yakni razia hanya berlaku bagi pengendara motor dan tidak berlaku pada pengendara mobil. Alasannya adalah karena wanita yang berkendara dengan motor dapat terlihat langsung oleh Satpol PP/WH sedangkan pakaian pengendara mobil tidak terlihat karena terhalang kaca mobil (sebagian besar kaca mobil gelap). Pihak Satpol PP/WH,[2] menuturkan bahwa saat dilakukan razia, plang razia di tempatkan di pinggir jalan dan ini menjadi informasi bagi pengguna jalan bahwa sedang dilakukan razia pakaian syariah. Pada proses ini biasa Satpol PP/WH yang sedang melakukan razia dapat melihat langsung apakah pakaian pengguna motor sudah memenuhi kategori syar’i” atau tidak tetapi berbeda dengan pengendara mobil di mana Satpol PP/WH tidak bisa melihat langsung pakaian pengendara atau penumpang di dalamnya.

Akibat konsep ‘terlihat’ dan ‘tidak terlihat’ tersebut, memunculkan ketimpangan dalam menyikapi sebuah pelanggaran. Pelanggar yang juga pengendara motor lebih rentan mendapatkan sanksi jika dibandingkan dengan pelanggar yang mengendarai mobil. Seakan pengendara mobil memiliki hak istimewa atas hukum. Akibatnya, sanksi hukuman hanya dirasakan oleh pengguna kendaraan motor. Padahal Standar Operasional Prosedur (SOP) razia pakaian syar’i tidak mengatur secara mendetail mengenai siapa saja orang yang akan dirazia: apakah hanya pengendara roda dua, pengendara roda empat atau semua pengendara

Pihak Dinas Syariah Islam (DSI) sendiri menegaskan bahwa, di dalam Qanun tidak ada aturan mengenai razia hanya berlaku bagi pengendara roda dua. Sehingga, pemberlakuan razia hanya bagi pengendara roda dua adalah keputusan Satpol PP WH sebagai pelaksana di lapangan.[3] Hal tersebut memperlihatkan bahwa penjelasan yang tidak mendetail mengenai mekanisme pelaksanaan pengawasan pakaian syariah telah menyebab adanya multitafsir oleh aparat penegak hukum. Akibatnya, pengawasan dan sanksi pakaian syariah hanya berlaku bagi pengendara roda dua dan tidak bagi pengendara mobil. 

Tim peneliti kami juga bertanya, mengapa Satpol PP/WH memilih jalan raya untuk melakukan razia pakaian? Mengapa razia tidak dilakukan di ruang publik seperti kantor dan kedai kopi? Seorang pegawai Sat pol PP/WH [4] mengatakan bahwa jalan raya dipilih sebagai tempat razia pakaian selain sebagai pengawasan bagi aturan pakaian syariah agar syiar agama itu dapat dilihat oleh khalayak yang lebih luas. Karena alasan visibilitas tersebut maka razia dilakukan di jalan raya karena lebih terlihat oleh orang banyak jika dibandingkan dengan razia dilakukan di kantor atau warung kopi. 

Meski tujuan syiar di atas cukup baik, namun penggunaan jalan raya sebagai tempat razia juga memiliki efek negatif.  Razia di jalan raya dapat menyebabkan terganggunya aktivitas pengguna jalan. Aktivis Solidaritas Perempuan, Ruwaida[5] mengatakan bahwa selaku pengguna jalan dia sangat terganggu dengan razia pakaian yang dilakukan oleh Satpol PP/WH. Ruwaida mengatakan bahwa saat dia ingin pergi ke kampus di tengah jalan dia diharuskan berhenti dan mengikuti prosedur razia. Menurut Ruwaida dia sudah memakai pakaian memenuhi standar menutup aurat tetapi karena standar WH mengenai pakaian syar’i adalah menggunakan rok yang mengakibatkan dia terjaring razia. Ruwaida mengeluhkan prosedur yang berbelit dan menyita waktu, selain harus menandatangani surat pernyataan tidak mengulangi lagi, harus ada yang menjamin dan mendapatkan khotbah mengenai pakaian yang dianggap sesuai dengan syariat. Ruwaida juga menyarankan bahwa  seharusnya razia yang dilakukan di jalan raya terkait dengan keamanan berkendara bukan mengawasi pakaian syar’i

Studi ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan dan penyikapan pada razia pakaian syar’i. Pengawas memandang bahwa pengendara sepeda motor didefinisikan berada di ruang publik sementara pengendara mobil dianggap berada di ruang privat. Alasannya,  pengendara sepeda motor ‘terlihat’ oleh orang lain sedangkan pengendara mobil ‘tidak terlihat’.

Selain itu, dari razia pakaian syar’i tersebut ada kesan bahwa tubuh atau aurat perempuan dianggap sebagai ancaman bagi ketertiban sosial di masyarakat. Padahal sesungguhnya pengambil kebijakan melakukan razia pakaian syar’i di jalan raya sebagai upaya mengamankan tubuh perempuan untuk menjaga ketertiban sosial dan melindungi perempuan dari tindakan kekerasan di ruang publik. Semoga hal ini menjadi renungan kita bersama, agar upaya untuk menjaga ketertiban sosial tidak berubah menjadi tindakan yang mencederai keadilan sosial bagi segala lapisan masyarakat.


[1] Wawancara kepala seksi pembinaan PPNS, 17 Juli 2019.

[2] Wawancara kepala Subbagian umum dan kepegawaian Satpol PP dan WH Banda Aceh 19 Juli 2019

[3] Wawancara kasi bagian hukum dan HAM di Kantor Dinas Syariat Islam Aceh, 29 Juli 2019.

[4] Wawancara kepala seksi pembinaan PPNS, 17 Juli 2019.

[5] Wawancara aktivis Solidaritas Perempuan Aceh, 06 Agustus 2019.

One thought on “Razia Pakaian “Syar’i” di Aceh pada Pengguna Motor dan Mobil: Sebuah Catatan”

Comments are closed.