Authors
dr. Rosaria Indah, M.Sc., PhD
rosariaindah@usk.ac.id
Dosen FK USK dan peneliti Pusat Riset Ilmu Sosial dan Budaya/PRISB USK
dr. Kulsum, M.Ked.(An), Sp.An
kulsumanest@usk.ac.id
Dosen FK USK dan dokter spesialis anestesi RSUZA
Di saat pandemi ini sering kita dengar teman ataupun keluarga kita harus dirawat di ICU (Intensive Care Unit) agar mendapatkan perawatan intensif. Kondisi pasien yang dimasukkan ke ICU biasanya sangat berat dan membutuhkan bantuan darurat untuk membantu mereka bertahan hidup. Ada pemasangan mesin bantuan napas (ventilator), infus yang langsung masuk ke pembuluh besar di leher, ada juga alat yang membantu jantung memompa darah. Sebelum melakukan pertolongan biasanya dokter menjelaskan prosedurnya dan minta persetujuan dari keluarga pasien yang menjadi wali dari pasien tersebut.
Sayangnya, akibat stres dan tekanan psikologis yang besar, keluarga pasien terkadang sulit memahami penjelasan dokter. Ditambah lagi dengan banyaknya istilah medis yang digunakan oleh dokter, sering kali ada masalah dalam memahami tindakan yang akan dilakukan dan apa akibatnya pada pasien nanti. Terkadang ada anggota keluarga yang merasa bersalah karena pasien tak sempat salat terakhir kalinya, ataupun tak sempat mentalkinkan anggota keluarganya sebelum sang pasien kehilangan kesadaran. Maka keluarga pasien juga harus berusaha menambah informasi tentang hal-hal umum yang terjadi pada saat anggota keluarga memerlukan perawatan intensif. Jika kita mengerti, pengambilan keputusan tidak akan terasa menyusahkan dan mengerikan.
Salah satu contohnya adalah bantuan saat seseorang yang kesulitan bernapas sehingga tidak sadar. Bantuan oksigen lewat selang biasa tak lagi efektif. Mereka membutuhkan bantuan pernafasan menggunakan ventilator, yakni semacam pompa khusus yang membantu masuknya oksigen ke dalam saluran napas. Sebelum melakukan tindakan pemasangan selang udara yang cukup besar dari mulut atau luka buatan di leher pasien, dokter akan menjelaskan tujuan pemasangan tindakan tersebut serta efeknya pada pasien (jika ia sadar) dan keluarga pasien. Tapi, apa saja hal-hal yang perlu kita ketahui sebelum tindakan pemasangan ventilator dilakukan pada keluarga kita yang beragama Islam
Pasien/keluarganya harus paham apa nama penyakitnya dan derajat keparahannya. Beberapa sebab pasien perlu dibantu dengan ventilator adalah saat mereka mengalami gagal jantung pada derajat di mana jantung tak mampu memompa darah sehingga darah menggenang di paru dan pasien tak mampu bernapas dengan baik. Ataupun pasien mengalami pneumonia alias paru-para basah sehingga paru-paru tak mampu mengembang dengan baik tanpa bantuan pompa buatan yang dinamai ventilator tersebut. Jika kurang paham apa nama dan derajat penyakitnya, pasien/keluarganya boleh bahkan harus bertanya kepada dokter anestesi dan perawatan intensif yang bertanggungjawab terhadap pasien tersebut.
Pasien/keluarganya harus paham mengapa seorang pasien dipasangi ventilator. Mereka juga harus paham bahwa boleh menolak pemasangannya dengan opsi DNR (do not resuscitate) jika pertimbangan mudaratnya lebih banyak daripada manfaatnya. Jika keluarga pasien menolak pemasangan ventilator ataupun tindakan lain maka mereka harus menandatangani surat yang menyatakan penolakan tersebut. Surat tersebut berguna agar dokter tidak dianggap bersalah karena tidak melakukan perawatan intensif.
Yang berhak memberikan penjelasan tentang dua hal di atas adalah dokter spesialis anestesi dan perawatan intensif, bukan yang lainnya. Keluarga pasien boleh dan sangat dianjurkan bertanya tentang hal-hal yang tidak mereka ketahui. Misalkan apakah pasien akan ditidurkan atau tidak? Pemasangan ventilator biasanya sangat menyakitkan sehingga sebagian besar pasien akan ditidurkan. Karena itu sebelum pemasangannya, jika pasien itu beragama Islam dan dalam kondisi masih sadar, pasien sebaiknya dibimbing untuk melakukan salat dan bersyahadat. Mungkin itulah saat terakhir ia salat dan syahadat, sebelum ia ditidurkan dalam waktu lama. Jadi keluarga sudah menunaikan tugas terakhir yakni mengingatkan pasien pada kewajiban muslim yang utama. Saat sudah tak sadar, tentu kewajiban salat akan gugur dengan sendirinya.
Pasien/keluarga harus memahami apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat pasien berada di ICU. Untuk pasien-pasien yang sengaja ditidurkan maka keluarga dilarang untuk membangunkan mereka karena itu artinya membuat pasien merasakan sakit yang sangat akibat tindakan yang dilakukan pada dirinya. Misalnya, pasien yang terbangun akibat kakinya dipijat-pijat oleh anggota keluarga akan merasakan sakit yang sangat pada tenggorokannya akibat adanya selang yang berukuran besar yang membantu pernafasannya. Keluarga boleh membacakan Al Quran dan doa-doa dengan suara lirih. Tapi dilarang bersuara keras apalagi berusaha membangunkan pasien yang sengaja ditidurkan.
Pasien/keluarga berhak mengetahui perkembangan perawatan pasien dan kemungkinan akibatnya (prognosis). Mungkin pasien memberi respons yang baik sehingga ada kemungkinan alat-alat bantuan hidup akan dilepas pada suatu saat, dan kewajiban salat kembali berlaku. Ada juga pasien kurang memberi respons yang baik sehingga kondisinya terus menurun dan perlu dibantu saat mengalami sakaratul maut. Keluarga pasien berhak penuh atas informasi tentang perkembangan pasien, jadi boleh saja bertanya kepada dokter yang menangani.
Keluarga pasien juga boleh mengambil keputusan untuk menghentikan tindakan jika tidak ingin menyakiti pasien yang sudah sakaratul maut. Mereka boleh memutuskan untuk membawa pasien ke kamar biasa, lalu menghantarkan kepergian sang pasien dengan bimbingan berdasarkan agama sang pasien. Bagi pasien yang dirawat di Rumah Sakit yang sudah diaudit sesuai Syariah Islam (seperti RS Zainoel Abidin, Aceh) maka ada prosedur talkin yang dilakukan oleh dokter dan perawat setiap kali mereka menangani pasien yang kritis. Setiap pijat jantung maka ada tenaga medis/paramedis yang bertugas mentalkin pasien yang beragama Islam. Jadi keluarga tak perlu khawatir. Kewajiban muslim kepada muslim lain saat sakaratul maut sudah dipahami oleh dokter dan perawat di RS teraudit Syariah Islam.
Mengantarkan anggota keluarga kita ke ICU selalu membawa tekanan psikologis yang cukup berat. Dalam kondisi berat tersebut anggota keluarga harus menyerap banyak informasi, berdiskusi dengan dokter, dan mengambil keputusan yang sangat penting demi kemaslahatan pasien dan semua orang yang terkait. Terkadang perasaan tertekan membuat anggota keluarga sulit menyerap penjelasan dokter. Semoga informasi yang ada dalam artikel ini dapat memberi sedikit pencerahan. Yang penting diingat adalah pesan Rasulullah Saw: Laa dharara walaa dhirar. Janganlah menyusahkan orang lain, namun juga jangan sampai disusahkan oleh orang lain. Semoga informasi ini dapat membangun hubungan dokter-pasien/keluarga pasien yang lebih harmonis sehingga terbentuk kerja sama yang baik demi kesembuhan dan keselamatan pasien dalam kerangka ibadah yang sesuai dengan Syariah Islam.
Trimakasih banyak duo Ibu Dokter…..alhamdulillah tercerahkan…slamat buat RSUZA sudah diadit sesuai syariah islam….nyaman rasanya.